ARVENZHY
IlmuPengetahuan.org – Belum adanya program dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2011-2020 untuk pembangunan PLTN di Indonesia, hal ini terjadi karena dalam proses optimalisasi pemilihan kandidat pembangkit, ternyata pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) tidak dapat bersaing dengan jenis pembangkit baseload lainnya, yaitu PLTU batubara kelas 1.000 MW ultra supercritical.
Selain itu juga disebutkan kesulitan
terbesar dalam merencanakan PLTN adalah tidak jelasnya biaya kapital dan
biaya operasi dan pemeliharaan yang terkait dengan spent fuel disposal,
dan biaya decommisioning. Untuk biaya kapital misalnya, sebuah studi
bersama antara PLN dan sebuah perusahaan listrik dari luar negeri
mengindikasikan biaya pembangunan PLTN sebesar US$ 1.700 per kW untuk
Engineering, Procurement, Construction (EPC) atau US$ 2.300 per kilowatt
(kW) (setelah memperhitungkan biaya bunga pinjaman selama konstruksi).
Angka tersebut kini dipandang terlalu rendah, karena menurut laporan
mutakhir (tahun 2009), biaya pembangunan PLTN pada beberapa negara telah mencapai US$ 3.500 hingga US$ 5.500 per kW.
Selain itu harga uranium dunia juga
terus naik sejalan dengan kebangkitan program tenaga nuklir pada banyak
negara di dunia. Harga uranium yang pada tahun 2006 adalah sekitar US$
30 per barel, saat ini telah mencapai US$ 130 perbarel. Kenaikan harga
uranium ini sebetulnya tidak banyak mempengaruhi keekonomian PLTN
mengingat beroperasinya PLTN hanya memerlukan uranium dalam jumlah
sedikit, namun tetap saja kenaikan harga uranium dunia ini perlu terus
dipantau.
Dengan semakin mahalnya harga BBM yang
juga diikuti oleh kenaikan harga energi primer lainnya seperti batubara
dan gas alam, dan semakin nyatanya ancaman emisi karbon terhadap
perubahan iklim global, telah membuat PLTN menjadi salah satu opsi
sumber energi yang sangat menarik untuk ikut memenuhi kebutuhan listrik
Indonesia apabila biaya EPC, biaya pengelolaan spent fuel dan biaya
decomisioning telah menjadi semakin jelas.
Disadari bahwa pengambilan keputusan
untuk membangun PLTN tidak semata-mata didasarkan pada pertimbangan
keekonomian dan keenergian, namun juga pertimbangan lain seperti aspek
politik, keselamatan, penerimaan sosial, budaya dan lingkungan. Apalagi
dengan terjadinya kecelakaan PLTN Fukushima Daichi pada bulan Maret 2011
yang sangat buruk dimana ribuan penduduk yang semula bermukim di dekat
PLTN tersebut harus diungsikan ke daerah yang aman, telah menyebabkan
eskalasi penentangan terhadap pengembangan tenaga nuklir untuk
pembangkit tenaga listrik. Dengan adanya berbagai aspek yang multi
dimensional tersebut, program pembangunan PLTN hanya dapat diputuskan
oleh pemerintah.
Menurut Agus R Hoetman, ketersediaan
pembangkit listrik saat ini hanya 35 Giga watt (GW) sementara pada tahun
2025diprediksi kebutuhan akan mencapai 145 GW. “PLN memprediksi
kebutuhan listrik di Jamali 112 GW pada tahun 2025,”papar Agus.
Dari kapasitas sebesar itu, sambungnya,
energi fosil dan energi baru terbarukan hanya mampu memberikan
kontribusi sebesar 55 GW, sisanya 87 MW belum jelas nasibnya untuk itu
usulan PLTN sebagai sumber energi untuk pembangkitan listrik
, memang perlu mendapat perhatian, tentunya diperlukan sosialisasi
tentang kehandalan dan ketatnya faktor keselamatan. “Nuklir memang benar
berbahaya, namun bila bisa mengendalikan justru sangat bermanfaat dan
menghasilkan banyak keuntungan,”